Fenomena Politik Uang
TERASNKRI.COM | Mendekati tahun politik, partai-partai sudah mulai menunjukkan taringnya. Tidak hanya satu dua partai yang sudah mulai terang-terangan memunculkan calon-calon yang akan diusung. Tapi hampir semua partai politik yang akan meramaikan pemilihan presiden dan wakil presiden di tahun 2024. Bahkan di media juga sudah semakin gencar gempurannya.
Tahun politik selalu dikaitkan dengan uang. Bagaimana tidak? Jika tidak ada dana maka semuanya mungkin saja tidak berjalan sesuai keinginan para pasangan calon atau pun partai yang mengusung. No money no voters. Dapatkah kampanye berjalan tanpa dana? Jika dapat maka politik bisa jadi aman-aman saja. Tapi seperti yang kita ketahui bersama di setiap pelosok negeri di Indonesia sering terdengar suara-suara berseliweran mengatakan bahwa pasangan calon dalam pesta demokrasi biasanya memberikan uang untuk para pemilih agar memperoleh dukungan untuk dapat menang dalam pemilihan. Pun begitu halnya dengan mahar politik untuk membeli kursi dari partai politik. Tidak ada yang benar-benar bersih dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak dapat dihindari karena seperti telah menjadi suatu kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 151 Tahun 2000, tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menyebutkan bahwa politik uang adalah pemberian uang atau bentuk lain, yang dilakukan oleh calon Kepala Daerah atau wakil kepala daerah atau yang berkaitan dengan pasangan calon, kepada anggota DPRD dengan maksud terang-terangan dan atau terselubung untuk memperoleh dukungan guna memenangkan pemilihan Kepala Daerah. Selain PP yang menjelaskan tentang politik uang, definisi lain dari politik uang menurut Juliansyah (2007) politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk memengaruhi suara pemilih (voters). Hal tersebut bukan menjadi rahasia umum lagi, bahkan terkadang paslon tertentu secara terang-terangan memberikan sesuatu kepada calon pemilih sebagai imbalan untuk menambah suara saat pemilu dilaksanakan.
Praktik politik uang pun bermacam-macam, ada yang berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan menarik simpati. Praktik politik uang merupakan suatu pelanggaran atau tindakan melanggar hukum dan dapat melukai pesta demokrasi yang bersih. Hal tersebut diatur dalam Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1999 yang berbunyi “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”. Selain pasal tersebut, tindak pidana Pemilihan Umum (Pemilu) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum (Perma 1/2018) adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sanksi politik uang dalam Pasal 515 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, yakni “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).
Jadi, sudah sangat jelas pasal atau aturan yang mengatur tentang politik uang beserta sanksi nya. Namun, mengapa hal tersebut masih saja terjadi? Berikut contoh kasus politik uang yang pernah terjadi di berbagai daerah yaitu mobil berisi uang Rp. 1.075 miliar di Pekanbaru, Caleg Gerindra di Nias yang bagi-bagi uang, OTT di Karo, Polewali Mandar, Padang Lawas, hingga Jakarta. Beberapa kasus yang telah dijelaskan sebelumnya adalah fakta nyata di lapangan. Tapi bisa saja di daerah lain juga sudah menjadi kebiasaan namun tidak terdeteksi karena tidak ada yang melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Fenomena politik uang yang beragam sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Sehingga, semua kembali lagi kepada para pemilih apakah akan menjadi pemilih yang cerdas tanpa harus di suap. Pun begitu untuk para caleg atau pasangan calon yang akan maju di pemilihan umum untuk menyiapkan strategi terbaik untuk memikat hati para pemilih tanpa politik uang agar segalanya berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Penulis Andi Kamil (Puang Sanro)